Hallo teman-teman semuanya! Di artikel ini, saya akan membahas tentang film yang sedang ramai dibahas di media sosial nih. Yap betul, film remake ‘A Business Proposal’! Film remake ini diadaptasi dari serial televisi asal Korea Selatan dengan judul yang sama. Film ini ramai karena dibanjiri kritikan netizen hingga berujung ke film yang di-cancel oleh para netizen. Bahkan, rating film ‘A Business Proposal’ di IMDB bertengger di angka 1.0/10 dari 22 ribu review semenjak perilisannya pada tanggal 6 Februari 2025. Wah, dampaknya nggak main-main ya…
Nah, di artikel ini akan membahas pengertian cancel culture, peran media sosial terhadap cancel culture, dan upaya yang bisa dilakukan oleh industri film untuk terhindar dari cancel culture. Yuk simak artikelnya!
Apa itu cancel culture?
Sebagaimana diketahui bahwa kasus film remake ‘A Business Proposal’ berawal dari ucapan pemeran utama film, Abidzar Al-Ghifari, yang menyebut dirinya memilih untuk tidak menonton versi asli ‘A Business Proposal’ dari Korea Selatan secara utuh demi membangun karakternya sendiri. Bahkan ia juga mengatakan bahwa dirinya hanya menonton satu episode saja. Pernyataan ini semakin dianggap kontroversial ketika dia menyinggung penggemar fanatik tayangan Ia menyebut hanya menonton satu episode drakor tersebut. Tak hanya itu, ia juga dianggap menyinggung penggemar fanatik film tersebut.
Pemboikotan film remake ‘A Business Proposal’ adalah fenomena menarik dalam industri perfilman Indonesia. Kasus ini merupakan perwujudan dari cancel culture. Penggunaan istilah cancel culture ini digunakan untuk melihat fenomena pembatalan atau pemboikotan yang dilakukan oleh massa terhadap sebuah produk karena pihak industri dianggap melakukan pelanggaran norma atau budaya setempat, tidak etis dalam berperilaku, atau apapun yang bersifat kontroversial.

(Sumber: Google)
Kasus serupa sebelumnya beberapa kali terjadi di Indonesia. Misalnya, saat massa melakukan pemboikotan terhadap perusahaan travel karena dianggap tidak mendukung sebuah organisasi masyarakat. Melalui media sosial, sejumlah orang mengajak masyarakat untuk melakukan pemboikotan dengan cara uninstall aplikasi travel. Pemboikotan ini cukup berhasil sehingga merugikan perusahaan travel.
Perusahaan lainnya yang mengalami pemboikotan terjadi pada perusahaan roti yang lagi-lagi dianggap melukai sebuah organisasi masyarakat. Akibatnya massa melakukan gerakan pemboikotan terhadap produk roti yang selama ini laku keras di mini market.
Peran media sosial dalam cancel culture
Dalam cancel culture, media sosial memiliki kekuatan dalam melawan kekuatan industri yang dianggap dominan dan besar. Keunggulan media sosial adalah memiliki sifat serentak dan real time sehingga membuat informasi yang disampaikan secara masif mampu menggerakkan massa dengan sangat cepat. Selain itu media sosial adalah medium yang bisa bergerak tanpa filter yang ketat sebagaimana media mainstream pada umumnya.
Dalam menyampaikan informasi, media mainstream harus melalui gatekeeper dan redaksi sebelum di-publish untuk masyarakat. Media sosial juga bisa menjadi medium untuk meluapkan kekesalan individu dan massa karena dibungkam oleh pemilik kekuasaan, baik itu kekuasaan informasi, kekuasaan politik, dan kekuasaan industri.

(Sumber: Freepik.com)
Sebenarnya, di awal-awal kasus ini sebagian orang menganggap bahwa ini adalah bentuk gimmick dari dari strategi marketing industri film agar film yang dirilis laku keras. Tapi nyatanya tidak. Film ini justru benar-benar anjlok. Padahal secara strategi marketing, harusnya film-film berbasis adaptasi, remake, sekuel, atau prekuel lebih mudah laku karena telah memiliki pangsa pasar sebelumnya.
Sebagai bagian dari produk budaya populer, terutama ketika bersinggungan dengan media sosial, bagus tidak sebuah film bukan dilihat dari kualitas isi film tetapi dilihat dari dampak emosi yang ditimbulkan, baik dari cara berpromosi maupun sisi-sisi di luar produk film. Artinya, masayarakat bertindak bukan berdasarkan isi produk tapi berdasarkan emosi yang ditimbulkan dari produk.
Kesimpulannya…
Dari fenomena cancel culture yang dialami oleh film remake ‘A Business Proposal’, bisa menjadi pelajaran bagi perusahaan film, khususnya di tanah air. Penonton adalah aset yang harus dijaga, terutama dalam membuat film berbasis remake, adaptasi, sekuel, atau prekuel yang sudah jelas penontonnya.
Di era budaya populer seperti sekarang, penonton adalah komoditas yang harus terus dirawat untuk menjaga stabilitas program atau produk film yang akan atau sedang tayang. Dilihat dari nilai ekonomi, kekuatan penonton yang didukung dengan kekuatan media sosial adalah penentu dari sukses tidak sebuah film yang tayang di bioskop atau platform media. Karena itu, perusahaan film harus ekstra hati-hati dalam mengelola kru atau artis-artisnya untuk tidak sembarangan bersikap dan bertindak sehingga berpotensi melukai hati khalayak. Terutama ketika film tersebut akan tayang atau sedang tayang. Sekali saja melakukan tindakan yang tidak etis bagi penonton, maka akan terjadi cancel culture yang bisa berakibat fatal seperti kasus film ‘A Business Proposal’.
Kalau kalian ada passion dalam dunia perfilman, Universitas Dinamika memiliki program studi D4 Produksi Film dan Televisi. Dalam program studi ini, kalian akan memelajari tentang dramaturgi, 3D animation, cinematography, special effect, dan masih banyak lagi yang bisa mempertajam skill kalian dalam bidang perfilman. Kalau mau ngobrol-ngobrol lebih lanjut tentang prodi D4 PFTV, kalian bisa reach out ke nomor ini 082225555456.
Kalau mau baca artikel lain tentang D4 PFTV, klik link di bawah ini:
Referensi
https://www.imdb.com/title/tt35295730/?ref_=nv_sr_srsg_0_tt_8_nm_0_in_0_q_a%2520business%2520p